31 May 2007

Tragedi Pasuruan

Tragedi penembakan oleh tentara terhadap warga sipil kembali terjadi di Negara ini, saya ndak bisa membayangkan apa yang di pikirkan tentara-tentara itu sehingga begitu saja memuntahkan peluru, iya kalau dalam suasana perang, lha ini hanya gara-gara mempertahankan tanah sejengkal harus ada nyawa yang melayang.

Saya baru sempat menulis, karena beberapa hari ini Kang Muhyiddin –biasa saya panggil Kang Muh– guru spiritual saya yang biasa saya waduli kalau ada masalah sedang pergi, saya sendiri ndak tahu kemana, baru sore ini keliatan di rumahnya, segera saya ajak sahabat saya Slamet untuk menemani saya menemuinya. Setelah ngobrol sejenak, saya langsung tanyakan persoalan ini


“Kang Muh, tragedi pasuruan menurut sampeyan gimana…?
“Wah no comment ….!”
“Lho koq……..!”
“Lho kamu koq heran…? Wong perkara seperti ini sudah biasa…..?”
“Biasa gimana Kang ?”
sahabat saya menimpali
“Lho coba liat saja, sudah berapa kali kejadian seperti ini terjadi…..?, yang heboh-heboh saja, seperti di Nipah Madura, Trisakti, perang TNI dengan POLRI, terus sekarang, dan entah berapa yang tidak bikin heboh, yang katanya nembaknya nggak sengaja……!”

Saya dan sahabat saya hanya manggut-manggut.

“Apa kira-kira mereka ndak pernah belajar dari tragedi-tragedi itu ya Kang….?”
“Iya Kang… kalau mereka belajar, mestinya kejadian seperti ini tidak akan terjadi lagi”
“Ya….. dalam merasa sebagai manusia mungkin mereka ndak pernah belajar, tapi mereka sudah mempelajari satu hal terpenting dari kejadian-kejadian itu….!”
“Apa kira-kira Kang…!”

Ya apa coba….?” Ah dia kembali berteka-teki seperti biasa
“Apa mereka biasa belajar nembak, terus dipraktekkan…?” Sahabat saya menimpali

Ah saya rasa ini jawaban yang terlalu lugu, nggak mungkinlah warga sipil jadi target praktek menembak, nggak lucu sama sekali. Sambil menyeruput teh yang disuguhkan, ingatan saya kembali kepada peristiwa-peristiwa itu, apa yang terjadi ketika itu…. terus selanjutnya apa..? oh ya…!

“Kang, apa mereka belajar bahwa mereka akan aman saja meski sudah bunuh orang, mereka ndak mungkin dapat hukuman yang setimpal dengan perbuatan mereka, alih-alih malah mungkin mereka dapat penghargaan ?”
“Itu kamu yang jawab lho, bukan saya”,
Kang Muhyidin cepat menimpali.

Saya hanya manggut-manggut dan yakin ini jawaban yang dikehendaki Kang Muhyiddin, tapi persoalannya kalau memang ini benar, mengapa mereka sebagai manusia tidak mau belajar, bahwa membunuh apalagi status mereka yang seharusnya melindungi adalah hal yang salah diliat dari sudut manapun..? Tapi apa mereka nggak sadar konsekuensi laen dari perbuatan mereka meski mereka bebas dari hukuman….?, ya seperti konsekwensi secara moral maupun agama.

“Eh Kang menurut sampeyan mereka beragama ndak sih….?”

Pertanyaan yang agak maksa, ya ini memang harus dilakukan untuk menggali lebih dalam persoalan ini dari sudut pandang Kang Muhyiddin.

“Wah pasti beragama mas… wong ini Indonesia malah sebagian besar menurut saya pasti beragama Islam” Timpal sahabat saya
IyaKang, bahkan dalam Islam, membunuh orangkan termasuk dosa besar, apalagi yang dibunuh sesama muslim”
“Bukan hanya dalam Islam semua agama jelas melarang keras membunuh, bahkan dalam Islam kemanusiaan sangat berhubungan erat dengan keimanan”
“Lho bukankah iman artinya percaya kepada Tuhan ?”
sergah sahabat saya
“Iya memang benar tetapi dalam tataran praktis, kemanusiaan tanpa nilai keimanan hanya akan berujung pada pemujaan pada sesama manusia, padahal dalam agama apapun pemujaan terhadap selain Tuhan adalah dosa besar, wah kalau mau membahas ini nggak bisa sekarang sudah terlalu sore, kalau mau baca saja bukunya Nur Kholis Majid Islam Doktrin dan Peradaban, disitu di bahas panjang lebar mengenai persoalan ini”
“Tapi kenapa kejadian ini bias terjadi ya…?
Tanya sahabat saya yang sepertinya belum puas”
“Ya mungkin ketika itu mereka ndak sadar bahwa mereka manusia, bahwa mereka beragama, atau mungkin jiwa mereka yang ketika itu sedang ndak bener…!”

Kami kembali mendengarkan dengan seksama penjelasan dari Kang Muhyiddin

“Dalam Islam sendiri kan ada istilah Nafsul Mutmainnah, Nafsullawwamah dan Nafsul Ammarah,Sigmund Freud merumuskan kepribadian manusia terdiri Id, Ego dan Super Ego terus al-ghazali membagi jiwa manusia menjadi tiga jiwa tunbuh-tumbuhan, jiwa binatang dan jiwa manusia. Wah kalo ini juga di bahas ndak akan ada habisnya, bisa merembet kepersoalan budaya ekonomi, politik dan lebih banyak lagi”

Ngobrol dengan Kang Muh memang selalu serius dan ternyata persoalan tragedi ini tidak sederhana, tapi sementara ini penjelasan ini cukup meski masih banyak pertanyaan yang bisa muncul, sudah hampor maghrib pada jam-jam segini biasanya Kang Muhyiddin sudah siap-siap pergi ke Masjid, tidak sopan rasanya menahannya terlalu lama, yah waktunya pamit.


5 comments:

Evy., DDS., OMFS said...

susah juga ya, anarkis itu gimana ngatasinnya, apa polisi ga pake peluru karet sih atau mereka menyerang polisi? aku kok ga ngerti ga selesai2 dr dulu kek gini kapan mbangunnya

Tari Mokui said...

ahhh...Indonesiaku, semakin menyedihkan saja....:(

korban penembakan ada anak2 n ibu hamil...kok mereka "TEGA" sih...

Unknown said...

gimana ya.... mungkin ada pelatihan khusus anarkis kali waktu mereka 'pendidikan' jadinya hasilnya ya anarkis juga

mel@ said...

sedih euy ngeliatin di beritanya...

hhhfff... tambah sedih aja ngeliat negara ini...

Anonymous said...

turut prihatin euy