“Syariat yang mana……? Poligami…? Potong tangan, hukum pancung, hukum di pukuli, hukum rajam……?”
“Ya yang mana lagi……!, coba ya kalau misalnya orang yang nyolong di potong tangannya, nggak bakal ada yang coba-coba nyuri……!”
“Ya itu kalau yang ngadili bisa adil lha kalo nggak……?, paling nanti yang kena hukuman maling ayam…… yang kadang terpaksa, koruptor kelas kakap, gak juga bakalan kena hukuman……!”
“Bukan hanya itu, zakat, ibadah-ibadah yang laen semua harus di pantau, eh dengar ya, di Makkah itu kalau sholat jum’at semua orang ke masjid, semua pekerjaan di tinggalkan……ndak seperti di sini……!”
Lagu lama yang selalu di pakai, membandingkan Makkah dengan Indonesia, syariat yang di dengung-dengungkan juga terlalu fiqih-sentris, padahal syariat kan lebih luas dari sekedar fiqih, bahkan makna fiqihpun sudah mengalami distorsi makna, tafaqquh fiddin, yang menjadi dasar kata fiqih sebenarnya berarti memahami agama, bukan hanya memahami masalah ibadah saja.
“Iya ya… tapi porsinya seberapa banyak………, dan saya kira masalah muamalah sangat kontekstual sangat tergantung konteks kapan dan dimana”
“Nggak bisa, Islam itu shohihun li kulli zaman wa makan, Islam benar untuk semua tempat dan kapan pun……!”
“Bicara Islam maka bicara lebih banyak hal……!, fiqih itu rumusan manusia hasil dari penafsiran dan pentakwilan al-Qur’an, jadi maklum dong kalau penafsiran sekarang dengan dulu berbeda, Islam bisa benar kalau di tafsirkan dengan benar”
“Lha UAN itu kan ngajari korupsi, guru ngasih jawaban ke murid sudah hal yang biasa, padahal tujuannya sederhana hanya agar lulus, lebih parah lagi, agar sekolahnya ndak kehilangan muka kalau banyak muridnya yang ndak lulus, kalau sejak kecil sudah diajari untuk melakukan segala cara agar tujuan tercapai, terutama cara-cara instant, ya gimana nanti besarnya………?
“Syariat Islam .......! No……!