09 September 2007

Penerapan Syariat Vs Syariat

“Kalo Negara mau aman tentram, syariat Islam harus dijalankan………!”
“Syariat yang mana……? Poligami…? Potong tangan, hukum pancung, hukum di pukuli, hukum rajam……?”

“Ya yang mana lagi……!, coba ya kalau misalnya orang yang nyolong di potong tangannya, nggak bakal ada yang coba-coba nyuri……!”

“Ya itu kalau yang ngadili bisa adil lha kalo nggak……?, paling nanti yang kena hukuman maling ayam…… yang kadang terpaksa, koruptor kelas kakap, gak juga bakalan kena hukuman……!”

“Bukan hanya itu, zakat, ibadah-ibadah yang laen semua harus di pantau, eh dengar ya, di Makkah itu kalau sholat jum’at semua orang ke masjid, semua pekerjaan di tinggalkan……ndak seperti di sini……!”
“Ah lagu lama………!”

Lagu lama yang selalu di pakai, membandingkan Makkah dengan Indonesia, syariat yang di dengung-dengungkan juga terlalu fiqih-sentris, padahal syariat kan lebih luas dari sekedar fiqih, bahkan makna fiqihpun sudah mengalami distorsi makna, tafaqquh fiddin, yang menjadi dasar kata fiqih sebenarnya berarti memahami agama, bukan hanya memahami masalah ibadah saja.

“Lho fiqih juga bicara muamalah lho, seperti jual beli, waris, nikah”
“Iya ya… tapi porsinya seberapa banyak………, dan saya kira masalah muamalah sangat kontekstual sangat tergantung konteks kapan dan dimana”
“Nggak bisa, Islam itu
shohihun li kulli zaman wa makan, Islam benar untuk semua tempat dan kapan pun……!”
“Bicara Islam maka bicara lebih banyak hal……!, fiqih itu rumusan manusia hasil dari penafsiran dan pentakwilan al-Qur’an, jadi maklum dong kalau penafsiran sekarang dengan dulu berbeda, Islam bisa benar kalau di tafsirkan dengan benar”

Ya… bahkan Imam Syafi’ie pun kadang memiliki dua pendapat dalam satu masalah, ada qoul qodim dan ada qoul jaded, qoul qodim ketika berada di Irak yang ketika itu merupakan Negara makmur, qoul jaded ketika berada di Mesir yang merupakan Negara miskin. Dalam mengartikan ayat al-Qur’an juga macem-macem contohnya iltamasa ada yang ngartikan “menyentuh” ada juga yang ngartikan “berhubungan badan”, dan semua di benarkan. Kalau sudah begini saya jadi sering heran dengan orang-orang yang mengklaim ajaran saya paling benar, yang lain salah, wah…..!.

Sebenarnya persoalan di Indonesia berpusat pada moralitas, langkah pertama moralitas yang harus di perbaiki, dan yang bisa memperbaiki adalah pendidikan. Merumuskan kebijakan pendidikan harus pakai otak yang jernih dan bisa melihat persoalan secara global, lha kalau yang mikir otaknya di dengkul, mana bisa baik…..?, coba bayangkan kalau sejak remaja sudah diajari korupsi, apa jadinya kalau sudah besar…..?

“Diajari korupsi bagaimana…….?”
“Lha UAN itu kan ngajari korupsi, guru ngasih jawaban ke murid sudah hal yang biasa, padahal tujuannya sederhana hanya agar lulus, lebih parah lagi, agar sekolahnya ndak kehilangan muka kalau banyak muridnya yang ndak lulus, kalau sejak kecil sudah diajari untuk melakukan segala cara agar tujuan tercapai, terutama cara-cara instant, ya gimana nanti besarnya………?

Penerapan syariat sebenarnya bukan hal sulit, kalau semua orang sudah tenang beribadah, berlaku jujur, saling menghormati, ndak salang merugikan, pemimpinnya bener, ndak perlu lagi syariat yang kaku, wong itu semua sudah merupakan syariat Islam. Karena jangan-jangan ketika syariat yang dirumuskan sekarang bener-bener di terapkan dan dalam perjalanannya nggak bener, nanti Islamnya yang malah tercoreng……!, seperti Taliban contohnya, ya bagaimana sesungguhnya Taliban memang saya tidak tahu, tapi imagenya buruk, dan katanya menerapkan syariat Islam, Islamnya lagi yang tercoreng.

”Syariat Islam…… ! Yes……!
“Syariat Islam .......! No……!

Ah mbuh ah….. mumet…….!